Kompas.com - 18/05/2011, 17:41 WIB
Sumber: admin blog info rumah kayu woloan (foto Januari 2019)
KOMPAS.com - Rumah kayu rakitan atau knocked down
mendapatkan pasar baru, yaitu Timur Tengah. Permintaan dari kawasan tersebut
terus meningkat. Di saat permintaan naik pesat, pengusaha menghadapi kendala
harga bahan baku dan teknologi. Rumah kayu rakitan (knocked down), sekarang,
semakin sering kita lihat berdiri kokoh di tengah kota-kota besar. Lazimnya,
rumah-rumah tersebut terbuat dari kayu ulin, meranti, cempaka, maupun kelapa.
Modelnya beragam, mulai dari gazebo, rumah panggung, hingga rumah minimalis.
Jenis yang paling banyak ditemukan berupa rumah panggung ala Palembang, Manado,
serta Bali.
Sejak awal tahun 2000, bentuk indah rumah jenis ini
memang memikat kian banyak orang. Gempa yang sering mengguncang membuat
permintaan rumah ini cenderung naik. Sebab, rumah ini dianggap cukup tahan
guncangan gempa. Melihat beragam kelebihan itu, tak perlu heran jika banyak
orang dari kalangan menengah atas di Padang, Palembang, Lampung, Jabodetabek,
Bandung, Semarang, Bali, sampai Balikpapan memesannya. Apalagi, rumah kayu ini
lebih indah ketimbang rumah beton. “Tidak kalah dari rumah biasa, rumah knocked
down juga bisa bertahan hingga puluhan tahun,” kata Direktur CV Woloan Permai
Fickry Pantow. CV Woloan adalah salah satu produsen rumah knocked down di
Tomohon, Sulawesi Utara. Yang menarik, selain pasar dalam negeri, permintaan
rumah knocked down pun banyak datang dari luar negeri. Kini, pasar ekspor itu
kian bertambah lantaran permintaan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab terus
meningkat. Sejak awal 2011, konsumen dari dua negara itu banyak memesan dan
menjadikan rumah bergaya daerah Indonesia sebagai tempat peristirahatan seperti
vila atau resor. Maklum, bisnis pariwisata di kawasan Arab tengah tumbuh pesat.
Permintaan yang datang dari pembeli di kawasan Arab ini tergolong baru. Sebab,
sebelumnya, peminat rumah jenis ini lebih banyak datang dari negara yang
mengalami musim dingin, seperti Jepang, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.
Fickry
mengaku mendapat pesanan 200 unit rumah ukuran 120 meter persegi (m²) dari
Dubai dan Arab Saudi untuk kontrak selama satu tahun. Harga yang disepakati
adalah Rp 2,15 juta per m². Dus, satu unit rumah ia banderol Rp 285 juta. Harga
itu sudah termasuk ongkos kirim dan tukang. Padahal, di pasar lokal, harganya
cuma Rp 1 juta per m². Permintaan baru itu langsung mendongkrak omzet penjualan
CV Woloan Permai. Jika tahun 2010 perusahaan asal Moroan, Tomohon ini menjual
60 unit rumah, di awal tahun ini, kapasitas produksi 100 rumah per bulan sudah
mentok. Apalagi, permintaan domestik juga tinggi, sekitar tiga sampai lima unit
sebulan. “Permintaan sekarang melonjak 60%, kuota kami sudah habis,” sambung
Fickry. CV Woloan menentukan kuota ini dengan mempertimbangkan kemampuan
produksi rumah dan ketersediaan bahan baku. Dengan margin laba 40%–50% dari
setiap unit rumah, Fickry mengakui, bisnis rumah knocked down ini menjanjikan.
Bahan baku langka Agus Shofyan, Direktur CV Balisky Indonesia yang berada di
Singaraja, Bali, juga punya cerita tak jauh berbeda. Ia melihat, kini, konsumen
Timur Tengah tengah butuh banyak rumah knocked down. Ia sempat mendapat pesanan
200 unit rumah ukuran 100 m² awal tahun ini. Meski tidak menyebutkan jumlah, UD
Gazebo-Production, produsen rumah knocked down di Palembang, sempat pula
mendapatkan pesanan serupa. Gazebo-Creation sudah pernah mengirim rumah jenis
ini ke Spanyol dan Malaysia.
Namun, di
pasar Timur Tengah, nasib dua perusahaan ini tidak seberuntung CV Woloan
Permai. Terkendala teknologi dan bahan baku, CV Balisky dan UD Gazebo terpaksa
merelakan laba di depan mata melayang. Pasalnya, pasar Timur Tengah menuntut
kualitas kayu lebih baik. Maklum, cuaca di kawasan itu sangat panas sehingga
membutuhkan kayu dengan kadar air rendah. Menjawab kebutuhan itu, kayu asal
Indonesia harus diproses lagi. Di sinilah, masalah menghadang “Kami tidak punya
teknologi untuk pengeringan (oven) kayu agar kadar airnya sedikit,” kata
Zuhadi, pemilik UD Gazebo-Creation. Selain teknologi, kenaikan harga kayu juga
menjadi persoalan berat. Fickry bilang, selama ini, pengusaha di Tomohon
mendapatkan pasokan bahan baku dari dua cara. Pertama, membudidayakan sendiri.
Kedua, membeli dari pemasok di Kalimantan, Indonesia Timur, serta beberapa
daerah lain. Sayangnya, jumlah permintaan pengusaha rumah rakitan itu lebih
banyak ketimbang stok bahan baku. Harga bahan baku kayu pun naik tinggi. Di
2009, harga satu meterkubik (m³) kayu meranti hanya Rp 850.000. Sekarang,
harganya sudah mencapai Rp 2 juta lebih per m³. Persoalan kian pelik sejak
muncul kewajiban kayu ekspor kudu bersertifikasi demi menjamin kayu itu bukan
hasil selundupan atau penebangan liar. “Ini kami siasati dengan memproduksi
satuan-satuan dalam jumlah kecil,” terang Agus. (Feri Kristianto/KONTAN)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Rumah Kayu Rakitan Diminati Timur Tengah",
https://properti.kompas.com/read/2011/05/18/1741228/Rumah.Kayu.Rakitan.Diminati.Timur.Tengah.