Home, Pariwisata, Sulawesi Utara

Ada pemandangan berbeda ketika melintasi sebuah desa di
Jalan Raya Tomohon, yaitu rentetan rumah adat Minahasa yang berjajar di
sepanjang kiri dan kanan jalan. Dari sekitar rumah-rumah tersebut terdengar
suara gergaji mesin menyeruak, di tempat inilah para pekerja sibuk dengan
kayu-kayu yang menjadi bahan baku pembuatan rumah.
Masyarakat mengenalnya dengan Desa Woloan, desa di
Kecamatan Tomohon Barat, Sulawesi Utara, yang sebagain besar penduduknya
berprofesi sebagai pembuat rumah adat Minahasa. Fari, salah seorang pengrajin,
mengungkapkan, rumah-rumah tersebut dibuat untuk dijual, bukan untuk dihuni
sendiri. Harganya pun fantastis, karena mencapai angka ratusan juta rupiah.
"Biasanya kalau mau beli, dipesan dulu, ukurannya,
motifnya. Kalau orang beli masih di kawasan Minahasa, kita bawa pakai truk,
rumah yang sudah jadi kita bongkar kembali, nanti di tempat tujuan dipasang
lagi. Kalau orang luar yang beli, kita bawa pakai kontener. Banyak pesanan dari
luar negeri, misalnya Jepang, Filipina juga ada," begitu tutur Fari
melanjutkan.
Umumnya rumah adat Minahasa terbuat dari kayu besi,
mengingat kayu jenis ini dianggap mempunyai struktur yang kuat dan mampu
bertahan hingga ratusan tahun. Bahan baku kayu besi yang dipasok dari daerah
Bolaang Mongodow ini kemudian diolah dan disusun, mulai dari membuat pondasi,
pancang-pancang, hingga menjadi bentuk rumah dengan beberapa ruangan di
dalamnya.
Rumah adat Minahasa secara umum terdiri dari beberapa
ruangan, antara lain ruang makan, ruang tamu, kamar tidur, serta tambahan kamar
mandi dan dapur. Menurut buku Sejarah dan Kebudayaan Minahasa yang ditulis oleh
Jessy Wenas, dahulu bangunan rumah adat Minahasa dibuat dengan teknik ikat,
yaitu menempel pada pohon yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menghindari
banjir dan gangguan binatang buas.
Pada 1850, seorang peneliti dari Belanda, DR WR Van
Hoevell, mencatat adanya perubahan yang terjadi pada rumah adat yang dipakai
oleh suku Minahasa. Bermula dari rumah yang menempel pada pohon, kemudian
berubah menjadi rumah panjang, dan yang bertahan hingga kini adalah rumah adat
Minahasa berbentuk panggung. Rumah adat Minahasa berbentuk panggung terdiri
dari dua jenis, yaitu berpilar batu (Wale Weiwangin) dan berpilar balok kayu
(Wale Meito’tol). Jenis kedua inilah yang menjadi model rumah minahasa yang diperjual-belikan
di Desa Woloan.
Rumah panggung berukuran lebih kecil dibandingkan dengan
rumah panjang. Mengingat rumah ini hanya dihuni oleh satu keluarga saja. Ruang
depan yang terbuka tanpa dinding disebut dengan loloan (fores). Masuk lebih ke
dalam, akan ditemui beberapa ruangan, seperti ruang tamu, kamar tidur, dan
loteng yang digunakan untuk menyimpan hasil panen atau juga digunakan sebagai
tempat menjemur pakaian. Pada bagian belakang terdapat ruangan dapur
(rarampoan). Uniknya dapur dibuat menempel ke belakang dengan rumah induk untuk
menghindari kebakaran.
Rumah panggung Minahasa mempunyai dua tangga, yaitu di
bagian kiri dan kanan. Tiang utama rumah disebut dengan Ari’i, yang pada bagian
atasnya terdapat pintu masuk. Pada bagian badan rumah terdapat jendela
(tetemboan), pada bagian itu diukir hiasan berupa gambar bunga atau tanaman.
Konstruksi tumpangan balok yang melintang di atas tumpangan balok memanjang
disebut dengan kalawit. Sementara konstruksi berbentuk huruf ‘X” disebut
sumpeleng. Konstruksi-konstruksi tersebut saling berkait dan membentuk pondasi
rumah yang kokoh. Uniknya meski bagian-bagian konstruksi direkatkan tanpa
menggunakan satu pun paku, saat terjadi gempa, rumah adat Minahasa hanya akan
bergeser tanpa mengalami kerobohan pada bagian-bagiannya.[AhmadIbo/IndonesiaKaya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar